Antara Jerman dan Mekkah: Biografi A.M. Saefuddin

Buku ini adalah buku yang sudah lama kubeli namun belum kubaca. Baru-baru ini aku mencoba membacanya, cukup tebal juga… Aku membeli buku ini karena pernah mendengar tentang tokoh ini dan suka membaca buku biografi. Setelah kubaca, ternyata banyak pelajaran penting yang kuperoleh.

Prof. Dr. Ir. A.M. Saefuddin adalah tokoh yang pernah menjadi menteri pada era Presiden Habibie. Ternyata mereka sama-sama kuliah di Jerman pada era yang sama, meski tidak sampai bertemu muka. Pak A.M. adalah seorang ahli di bidang pertanian, beliau juga menjadi dosen di IPB. Beliau memiliki 9 anak yang diasuh dengan baik, sehingga mentas dalam pendidikannya. Anak-anak beliau ada yang menjadi dosen, peneliti dan pekerja.

Pak A.M. adalah seorang akademisi yang religius. Kisah tentang pernikahannya sungguh mengharukan. Beliau belum pernah mengenal calon istrinya sebelumnya. Dia mendapatkan info bahwa ada seorang gadis, murid Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Bogor -almamater dan tempat beliau mengajar- yang terancam putus sekolah karena merupakan anak yatim piatu. Beliau berusaha menolongnya dengan menikahinya. Mereka menikah di rumah paman si gadis. Saat Pak A.M. pulang ke Cirebon dengan membawa istrinya, keluarganya menangis karena mereka tidak diberi tahu tentang pernikahan ini sebelumnya. Lebih terharu lagi saat mereka mengetahui bahwa istrinya adalah anak yatim piatu. Inilah pernikahan karena ibadah…! Sejak saat itu Pak A.M. juga menanggung biaya hidup adik-adik istrinya.

Banyak sekali suri teladan yang baik dalam buku ini, dan saya sangat terkesan. Beliau orang yang sangat bersahaja, saat menjadi menteri beliau tidak menggunakan rumah dinas di Jakarta dan memilih PP ke Bogor, karena merasa lebih nyaman tinggal di rumah sendiri. Saat menjadi menteri pula, istrinya tetap naik turun angkot untuk pergi ke pasar.

Ketika ada anaknya yang konsultasi tentang karir, beliau menyarankan pada anaknya untuk menjadi dosen. Meski gajinya kecil, tapi dosen sering keluar negeri untuk mempresentasikan penelitiannya. Kita dapat memperoleh wawasan dan pengalaman saat berkunjung ke luar negeri. Pak A.M. sangat disegani oleh anak-anaknya. Beliau menetapkan standar tinggi, dimana beliau tidak mau menghadiri wisuda anaknya selain wisuda jenjang S3. Wisuda biasanya hanya dihadiri oleh sang ibu. Namun, ada salah satu anaknya yang wisuda dengan dihadiri Pak A.M.

Saya salut dengan istri Pak A.M. yang berhasil mengasuh ke-9 anak mereka menjadi anak yang baik-baik, berprestasi, dan mentas pendidikannya. Beliau hanya beraktivitas sebagai ibu rumah tangga. Namun, mengingat kesibukan Pak A.M. tentu saja jasa sang istri di rumah sangat berharga. Anak-anak mereka tumbuh sebagai anak yang sholeh dan sholihah. Pak A.M. kadang terheran-heran dengan siklus hidup anaknya yang bekerja sebagai wanita karir.

Pak A.M. dekat dengan Mohammad Natsir. Di dunia politik, Pak A.M. terafiliasi dengan PPP. Saat kuliah di Jerman, ia sering mengikuti pengajian dengan sesama mahasiswa muslim yang berasal dari berbagai negara. Saat kembali ke Indonesia, beliau berpikir bahwa keilmuan harus disertai dengan ketakwaan. Jika kau menyempatkan diri untuk membaca buku ini, kau akan mendapatkan informasi menarik tentang kelahiran Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan menjamurnya masjid kampus di Indonesia. Ya, beliau adalah inisiatornya di IPB. Bersama dengan rekan-rekan di berbagai kota besar, seperti Imaduddin Abdurrohim di ITB Bandung, Amien Rais di Yogyakarta dan lainnya.

Sebagai ilmuwan, beliau merasa kurang dalam ilmu agama. Oleh karena itu, beliau mengusahakan keseimbangan antara ilmu dan agama dengan mendirikan pesantren-pesantren, baik pesantren yang ditujukan bagi penghafal Al-Qur’an maupun pesantren mahasiswa. Jika anak-anak lain menjalani liburan sekolah dengan bermain, tidak demikian halnya dengan anak-anak Pak A.M. Mereka dijadwalkan untuk bergabung dengan pesantren kilat selama liburan. Meski kadang merasa terpaksa di awal, akhirnya mereka menikmati kegiatan tersebut. Terbukti pengetahuan agama mereka lebih tinggi dari anak-anak sebaya dan jadi kesayangan guru agama di sekolah mereka.

Anak perempuan Pak A.M. yang bersekolah di SMAN 1 Bogor pernah menghadapi kasus yang sampai ke meja hijau. Bersama teman-teman lainnya, mereka dilarang sekolah untuk mengenakan jilbab. Berbagai tekanan mereka peroleh, seperti dilarang ikut ujian bahkan disarankan pindah sekolah. Saat itu adalah era Orde Baru, dimana masih jarang orang yang mengenakan jilbab. Pak A.M. mendukung anaknya untuk tetap melawan, karena akan jadi preseden nasional dan dunia tentang masa depan jilbab. Akhirnya anak Pak A.M. menang di pengadilan. Dan saat ini SMAN 1 Bogor menjadi lautan jilbab.

Leave a comment